Senin, 10 Maret 2014



“Aku kangen kamu, sayang”, bisiknya. Aku hanya terdiam, aku jenuh dengan Laras. Rasa bosanku menyeruak semakin dalam dan sangat menyiksa batinku. 2 tahun berpacaran dengan Laras tapi semakin lama perasaanku mulai hilang. Yang tersisa hanyalah gumpalan bosan yang melata. “Sayang…”, rayunya lagi sambil tebar senyuman. Aku hanya tersenyum kecil lalu menggandeng lengannya dan mengajaknya pulang. Aku benar-benar merasa bersalah padanya, tapi aku harus bagaimana lagi? aku terlanjur bosan dengannya. Kuantarkan dia pulang dengan sepeda motor bututku ini, dia hanya membisu. Sepertinya dia sangat mencintaiku dan tak sanggup memutuskan hubungan kami meskipun aku bersikap dingin padanya. Sesampainya di rumah aku langsung bergegas pergi, dia terlihat bingung dan merasa sedih. Terlihat dari kejauhan dia mengusap air matanya sendiri, oh Laras sebenarnya aku tak tega melihatmu bersedih. Aku pun berlalu dari rumahnya agar tak lama-lama menyaksikan kesedihannya.
Keesokaan harinya di sekolah dia menghampiriku ketika aku telah selesai bermain basket. Seperti biasa dia membawakanku roti dan sebotol minuman dingin. Dia memang tak pelit, dia selalu mengerti dan memenuhi segala apa yang aku butuhkan. Tapi entah kenapa perasaan cintaku tertutup oleh kemonotonan cara berpacaran kami. “Laras, hari ini kamu pulang sendiri ya? Aku ada acara sama temen tim basket nih, nggak papa kan?”, jelasku padanya. Laras hanya mengangguk dan tersenyum lembut, dia tak pernah menuntut apapun dariku. Meskipun aku sering menyakitinya, tapi dia selalu berusaha membahagiakanku.
Laras pun berlalu dari hadapanku, dia bergegas mengambil tasnya di kelas lalu pulang naik angkot sendirian. Aku sebenarnya kasihan tapi aku penasaran dengan cewek yang ada di tim basket SMA seberang. Namanya Rena, dia sangat s*ksi dan jago main basket. Akhir-akhir ini kami sering jalan bareng di luar pengetahuan Laras. Setelah aku mengenal Rena, hidupku lebih semangat dan bergairah. Nggak seperti Laras yang membosankan, ya meskipun secara face lebih cantik Laras. Tapi Rena s*ksi banget coy!.
Sore ini aku mengajaknya pergi jalan, kebetulan malam ini malam minggu. Jadi aku cuti dulu ngapelin Larasnya hahaha. Si Rena malam ini s*ksi banget coy, dia memakai hot pants jeans sama kaos lengan panjang yang agak ketat. Kubawa dia dengan motor ninjaku, dia hanya diam dan melingkarkan lengannya di perutku. Iya kebiasaanku pergi sama Laras membawa motor butut, sedangkan sama Rena aku memakai motor ninjaku dan Laras tak tahu aku tajir tapi hebatnya dia masih mau menerimaku.
Kuberhentikan motorku di sebuah taman kota, lalu kami mencari tempat duduk yang nyaman dan sepi dari keramaian. “Revan, kamu nggak ngapelin pacar kamu?”, tanya Rena mengagetkanku. “Oh, ehhh aku… aku nggak punya pacar Ren hehe kamu sih nggak jalan sama pacar kamu?”, jawabku sedikit gugup. “Aku juga nggak punya pacar Van”, katanya. “Beneran Ren?”, tanyaku lagi. “Iya Van, kenapa?”, jawabnya lembut. “Mau nggak jadi pacarku? aku enjoy sama kamu Ren”, jawabku tanpa pikir panjang. “Emmm… gimana ya Van..”, jawabnya lirih lalu terdiam dan menunuduk. “Kenapa Ren? kamu nggak mau ya? nggak papa kok aku nggak maksa”, jawabku sambil mengendalikan perasaanku yang risau ditolak Rena. “Emmmuaach”, tiba-tiba dia menciumku dan tersenyum genit. “Aku mau banget kok Van”, jawabnya sambil bergelayut manja di leherku. Hatiku lega rasanya mendengar jawabannya yang sangat menggoda. Kami pun melanjutkan jalan-jalan mengelilingi kota kecil itu sampai larut malam.
Hari demi hari aku menjalani cinta segitiga ini, jujur aku tak tega dengan Laras yang masih setia menerimaku meskipun ku tak mempedulikannya lagi. Yang aku pentingkan saat ini adalah Rena kekasihku yang s*ksi. Lamunanku buyar setelah Laras menghampiriku di kantin, “Ada apa Larasku?”, jawabku sok romantis. “Emm, aku.. aku mau tanya ke kamu sayang. Boleh?”, tanyanya lembut. “Iya silahkan cintaku”, jawabku lembut. “Jawab jujur ya, apa bener kamu udah punya cewek lagi sayang?”, tanyanya membuatku gelagapan. “Enggg… enggalah sayang. Pacarku cuma kamu kok, lagian kan 2 minggu lagi hari jadian kita yang ke 36 bulan sayang. Udah ah nggak boleh negative thinking sama aku yah”, rayuku. “Oh ya udah sayang, maaf ya udah negative thinking”, jawabnya sambil berlalu dari hadapanku karena bel masuk telah berbunyi.

“Van..”, kata Mamah lembut. “Iya Mah kenapa?”, jawabku. “Mamah mau bilang sama kamu Nak”, ujar Mamaku. “Iya Mah ada apa sih?”, jawabku ingin tahu. “Nak, terpaksa Mamah sama Papah menjual motor ninjamu Nak. Papahmu dalam kesulitan uang, jadi terpaksa menjual motormu Nak, lagian kan kamu masih ada motor satu lagi. Mamah harap kamu mengerti ya Nak, nanti kalau bisnis Papah udah membaik lagi, motormu akan diganti Nak”, jelas Mamah sambil menitikan air mata. Aku hanya bisa terdiam, hatiku hancur melihat Mamah menangis, kupeluk dia kuusapkan air matanya sampai dia tenang kembali.

“Revan, ini motor siapa? kok butut banget?”, tanya Rena ketika aku menjemputnya. “Motorku Ren, yang ninja dijual karena Papahku lagi kena musibah”, jelasku. Rena terlihat kesal dan selama memboncengku dia hanya terdiam tanpa memeluk mesra punggungku lagi. Setelah sampai di depan rumah Rena, dia hanya diam lalu berlalu begitu saja dari hadapanku. Aku geram dengan sikapnya yang meremehkanku, ternyata dia sebenarnya begitu. Mencintai motorku bukan hatiku, ah Laras maafkan aku telah mengkhianatimu demi cewek matre seperti Rena.
Kutarik gas motorku sekencang mungkin, ku melaju menuju rumah Laras. Hatiku kacau, aku menyesal telah menyia-nyiakannya. Hari ini adalah hari jadian aku dengan Laras yang ke 3 tahun. Pasti sekarang dia sedang menungguku di tempat biasa, mana hari ini hujan lebat lagi. Kasihan Laras dia pasti kedinginan, kutancapkan gasku lebih kencang dan berlomba dengan derasnya hujan. Sementara itu ponselku bergetar, kubuka sms dari Rena yang memutuskanku. Hatiku semakin kacau, fikiranku hanya tertuju kepada Laras pacarku yang setia.
Setelah sampai di danau tempat pertama kali kita bertemu, bergegas ku mencarinya. Tapi dia dimana? dia nggak mungkin nggak datang. Dia nggak akan pernah lupa sama aku, tapi nyatanya dia nggak ada. “Laraaasss!!!”, teriakku di bawah naungan derasnya hujan. Bersimpuh aku di tepi danau bening itu, aku sangat menyesal aku sangat menyesal dengan kebodohanku. Lalu mataku tertuju pada sebuah perahu, sebuah perahu kecil yang terdampar di tengah danau. Letaknya tidak terlalu ke tengah, jadi masih cukup dangkal hanya sekitar 2 meter kurang. Tapi siapa yang medayung perahu itu? tapi itu kan? itu kan? Ya Tuhan Laras!!! tak peduli seberapa dinginnya air danau itu, kujeburkan tubuhku menyelam ke dasar danau, menuju perahu kecil itu. Kucari kekasihku, kucari Laras. Tapi tak kujumpai ia disana. Perahunya kosong, tapi ada sebuah sepatu tosca dan sepertinya… sepertinya aku mengenalnya. “Larasss!!!”,teriakku terisak-isak. Dimana dia, dimana Larasku? Dimana Tuhan?!!!
Kucari dia di sekitar danau itu tapi dia tak kutemukan, lalu dimana dia? aku mulai putus asa dan sangat putus asa. “Nak, ada yang bisa Bapak bantu?” tanya Bapak yang memakai baju tim sar kepadaku. “Saya Revan, Pak. Saya sedang mencari Laras disini”, jawabku sambil terisak. “Oh, yang cantik dan rambutnya panjang sampai punggung kan?”, jawab Bapak itu. “Iya, Pak. Bapak melihatnya?”, tanyaku sedikit lega. “Iya, Nak. Tadi dia tenggelam di danau ini, tadi Bapak dan anggota tim sar menolongnya. Dia tadi sempat siuman dari pingsannya, katanya dia hendak mencari kalungnya yang jatuh di dasar danau Nak”, jelas Bapak itu. “Lalu dia sekarang dimana Pak?”, tanyaku tak sabar. “Tadi sudah dibawa pulang Nak,” jelasnya lagi. “Makasih ya Pak atas informasinya, saya akan menyelam dan mencari kalungnya yang jatuh di danau. Setelah itu saya akan ke rumahnya”, jawabku sembari terjun dan menyelam mencari kalung itu. Kalung itu adalah hadiah ulang tahunnya dariku, pasti dia khawatir sekali kalau aku marah, makanya dia nekat mencarinya padahal dia tidak bisa berenang. Setelah aku mendapatkan kalung tersebut kemudian aku bergegas menuju rumahnya. Aku tak sabar ingin memberikan kalung itu, dia pasti senang sekali.
Setelah sampai di rumahnya, hanya ibunya yang menyambutku. Tersirat dari wajah sang ibu yang berduka, air matanya bercucuran. “Ibu…”, lirihku. “Ini Nak..” jawabnya lembut sembari memberikan sepucuk surat dari Laras. Kubaca satu persatu pesannya:
“sayang, selamat hari anniversary yang ke 3 yah. Jaga diri kamu baik-baik… oya aku udah tahu tentang kalian, tentangmu dan Rena. Aku nggak papa kok sayang, disini aku baik-baik aja. Tadi kalung pemberianmu jatuh ke dasar danau, maafkan aku yang ceroboh. Maafkan aku tak bisa menjaga kalung itu seperti aku yang tak juga bisa menjaga hatimu sehingga tenggelam dalam pelukan wanita lain. Aku minta maaf sayang, aku salah… aku telah berusaha mencari kalung itu tapi aku tak mampu sayang. Tiba-tiba saja nafasku sulit untuk kuhembuskan padahal kalung itu ada di depan mataku akan tetapi aku gagal meraihnya. Dan semakin lama pandanganku semakin samar-samar dan mulai gelap sayang, aku takut sekali. Disana aku tak bisa melihat apa-apa, lalu entah kenapa.. atau ini semua keajaiban Tuhan sayang.. aku membuka mataku di ruangan yang berbau obat itu sayang.. ibu bilang itu rumah sakit sayang.. aku mencarimu disisi ruangan itu tapi kau tak juga kutemukan, aku hanya bisa menangis dan menulis surat ini. Jaga dirimu baik-baik sayang, jaga Rena sayang.. i love you sayang…”
“Bu.. dimana Laras bu?”, jawabku sambil terisak-isak. “Laaa…raaass… huhuhu Laraaass.. Laras sudah dimakamkan nak”, jelasnya. “Ibu…”, aku memeluknya, memeluk ibunya dan kami terisak bersama. Ah, Laras hatimu begitu mulia, harusnya aku membahagiakanmu dahulu sebelum kamu pergi. Harusnya kamu biarkan kalung itu tenggelam saja.. Laraaasss…!!! Ya Tuhan Larasku
the end
 sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-penyesalan/cintaku-tenggelam-dalam-pelukan-wanita-lain.html

Tenggelamnya Kapal Van der Wijck

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Tenggelamnya-vanderwijk.jpg
Sampul depan cetakan ke-22
Pengarang Hamka
Negara Indonesia
Bahasa Bahasa Indonesia, Melayu
Genre Novel
Penerbit (lihat di bawah)
Tanggal terbit 1938
Jenis media Cetak (kulit keras & lunak)
Halaman 224 (cetakan ke-22)
ISBN 978-979-418-055-6 (cetakan ke-22)
Nomor OCLC 246136296
Tenggelamnja Kapal Van der Wijck (EYD: Tenggelamnya Kapal Van der Wijck) adalah sebuah novel yang ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Hamka. Novel ini mengisahkan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian.
Novel ini pertama kali ditulis oleh Hamka sebagai cerita bersambung dalam sebuah majalah yang dipimpinnya, Pedoman Masyarakat pada tahun 1938. Dalam novel ini, Hamka mengkritik beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu terutama mengenai kawin paksa. Kritikus sastra Indonesia Bakri Siregar menyebut Van der Wijck sebagai karya terbaik Hamka, meskipun pada tahun 1962 novel ini dituding sebagai plagiasi dari karya Jean-Baptiste Alphonse Karr berjudul Sous les Tilleuls (1832).
Diterbitkan sebagai novel pada tahun 1939, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck terus mengalami cetak ulang sampai saat sekarang. Novel ini juga diterbitkan dalam bahasa Melayu sejak tahun 1963 dan telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.

Latar belakang

Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau lebih dikenal dengan singkatan Hamka, adalah ulama asal Minangkabau yang dibesarkan dalam kalangan keluarga yang taat beragama. Ia memandang tradisi yang ada dalam masyarakat di sekitarnya sebagai penghambat kemajuan agama, sebagaimana pandangan ayahnya, Abdul Karim Amrullah.[1][2] Setelah melakukan perjalanan ke Jawa dan Mekkah sejak berusia 16 tahun untuk menimba ilmu, ia bekerja sebagai guru agama di Deli, Sumatera Utara, lalu di Makassar, Sulawesi Selatan.[3] Dalam perjalanan ini, terutama saat di Timur Tengah, Hamka banyak membaca karya dari ahli dan penulis Islam, termasuk karya penulis asal Mesir Mustafa Lutfi al-Manfaluti hingga karya sastrawan Eropa yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[4][5] Pada tahun 1935, Hamka meninggalkan Makassar untuk pergi ke Medan. Di kota itu, ia menerima permintaan untuk menjadi pemimpin redaksi majalah Pedoman Masjarakat, yang dalam majalah ini untuk pertama kalinya nama pena Hamka diperkenalkan.[2] Di sela-sela kesibukannya, Hamka menulis Van der Wijck; karya yang diilhami sebagian dari tenggelamnya suatu kapal pada tahun 1936.[6]

Plot

Perdebatan mengenai harta warisan antara Pendekar Sutan dengan mamaknya berujung pada kematian. Akibat membunuh mamaknya, Pendekar Sutan diasingkan dari Batipuh ke Cilacap selama dua belas tahun. Setelah bebas, Pendekar Sutan memilih menetap di Makassar dan menikah dengan Daeng Habibah. Akan tetapi, setelah memperoleh seorang anak bernama Zainuddin, Daeng Habibah meninggal dan, tak lama setelah itu, Zainuddin menjadi yatim piatu.
Ketika beranjak remaja, Zainuddin meminta izin kepada pengasuhnya, Mak Base untuk berangkat ke Minangkabau; ia telah lama ingin menjumpai tanah asal ayahnya di Batipuh. Namun, kedatangan Zainuddin tidak mendapatkan sambutan baik di tengah-tengah struktur masyarakat yang bernasabkan kepada ibu itu. Ia dianggap tidak memiliki pertalian darah lagi dengan keluarganya di Minangkabau karena, meskipun berayah Minang, ibunya berasal dari Bugis. Akibatnya, ia merasa terasing dan melalui surat-surat ia kerap mencurahkan kesedihannya kepada Hayati, perempuan keturunan bangsawan Minang yang prihatin terhadapnya.
Setelah Zainuddin dan Hayati sama-sama mulai jatuh cinta, Zainuddin memutuskan pindah ke Padang Panjang karena mamak Hayati memintanya untuk keluar dari Batipuh. Sebelum berpisah, Hayati sempat berjanji kepada Zainuddin untuk selalu setia. Sewaktu Hayati berkunjung ke Padang Panjang karena hendak menjumpai Zainuddin, Hayati sempat menginap di rumah sahabatnya, Khadijah. Namun, sekembali dari Padang Panjang, Hayati dihadapkan oleh permintaan keluarganya yang telah sepakat untuk menerima pinangan Azis, kakak Khadijah; Aziz, yang murni keturunan Minang dan berasal dari keluarga terpandang, lebih disukai keluarga Hayati daripada Zainuddin. Meskipun masih mencintai Zainuddin, Hayati akhirnya terpaksa menerima dinikahkan dengan Aziz.
Mengetahui Hayati telah menikah dan mengkhianati janjinya, Zainuddin yang sempat berputus asa pergi ke Jawa bersama temannya Muluk, tinggal pertama kali di Batavia sebelum akhirnya pindah ke Surabaya. Di perantauan, Zainuddin menjadi penulis yang terkenal. Pada saat yang sama, Aziz juga pindah ke Surabaya bersama Hayati karena alasan pekerjaan, tetapi rumah tangga mereka akhirnya menjadi berantakan. Setelah Aziz dipecat, mereka menumpang ke rumah Zainuddin, tetapi Aziz lalu bunuh diri dan dalam sepucuk surat ia berpesan agar Zainuddin menjaga Hayati. Namun, Zainuddin tidak memaafkan kesalahan Hayati. Hayati akhirnya disuruh pulang ke Batipuh dengan menaiki kapal Van der Wijck. Di tengah-tengah perjalanan, kapal yang dinaiki Hayati tenggelam, dan setelah Zainuddin mendengar berita itu ia langsung menuju sebuah rumah sakit di Tuban. Sebelum kapal tenggelam, Muluk yang menyesali sikap Zainuddin memberi tahu Zainuddin bahwa Hayati sebetulnya masih mencintainya. Namun tak lama setelah Zainuddin datang, Hayati meninggal. Sepeninggal Hayati, Zainuddin menjadi sakit-sakitan sampai akhirnya meninggal. Jasadnya dimakamkan di dekat pusara Hayati.

Tema

Seperti novel Hamka sebelumnya, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Van der Wijck ditulis untuk mengkritik beberapa tradisi dalam adat Minang yang berlaku saat itu, seperti perlakuan terhadap orang berketurunan blasteran dan peran perempuan dalam masyarakat; hal ini dimunculkan dengan usaha Hayati menjadi istri yang sempurna biarpun Aziz tidak menghargainya.[7][8] Hamka beranggapan bahwa beberapa tradisi adat tersebut tidak sesuai dengan dasar-dasar Islam ataupun akal budi yang sehat.[7] Dalam karyanya yang lain, Hamka terus mengkritik adat.[9]

Rilis dan penerimaan

Van der Wijck pertama kali diterbitkan sebagai cerita bersambung dalam majalah Islam mingguan Hamka di Medan, Pedoman Masjarakat pada tahun 1938.[10] Menurut Yunan Nasution, salah satu karyawan majalah tersebut, ketika majalah itu dikirimkan ke Kutaraja, Aceh (kini Banda Aceh), banyak pembaca yang telah menunggu di stasiun kereta api agar bisa membaca bab berikutnya secepat mungkin. Hamka juga menerima surat dari beberapa pembaca, yang beranggapan bahwa novel itu mencerminkan kehidupan mereka. Namun, beberapa orang Muslim konservatif menolak Van der Wijck; mereka menyatakan bahwa seorang ulama harusnya tidak mengarang cerita tentang percintaan.[6]
Setelah mendapat sambutan yang hangat itu, Hamka memutuskan untuk menerbitkan Van der Wijck sebagai novel dengan usaha penerbitan milik temannya, M. Syarkawi; dengan menggunakan penerbit swasta Hamka tidak dikenakan sensor seperti yang berlaku di Balai Pustaka. Cetakan kedua juga dengan penerbit Syarkawi. Lima cetakan berikutnya, mulai pada tahun 1951, dengan Balai Pustaka. Cetakan kedelapan pada tahun 1961, diterbitkan oleh Penerbit Nusantara di Jakarta; hingga tahun 1962, novel ini telah dicetak lebih dari 80 ribu eksemplar. Cetakan setelah itu kemudian diterbitkan oleh Bulan Bintang.[10][11] Novel Hamka ini juga pernah diterbitkan di Malaysia beberapa kali.[6]
Kritikus sastra Indonesia beraliran sosialis, Bakri Siregar menyebut Van der Wijck sebagai karya terbaik Hamka.[3] Kritikus lain, Maman S. Mahayana, berpendapat bahwa novel ini mempunyai karakterisasi yang baik dan penuh ketegangan; Maman beranggapan bahwa ini mungkin karena novel ini awalnya diterbitkan sebagai cerita bersambug.[12]

Tuduhan plagiasi

Pada bulan September 1962, Abdullan S.P.—nama samaran dari Pramoedya Ananta Toer—yang memuat tulisannya ke dalam koran Bintang Timur menyebutkan bahwa novel Van der Wijck diplagiasi dari Sous les Tilleuls (1832) karya Jean-Baptiste Alphonse Karr, melalui terjemahan berbahasa Arab oleh Mustafa Lutfi al-Manfaluti; sebenarnya desas-desus plagiasi sudah lama ada.[13][14] Hal ini menjadi polemik luas dalam pers Indonesia.[15] Sebagian besar orang yang menuduh Hamka berasal dari Lekra, sebuah organisasi sastra sayap kiri yang berafiliasi dengan PKI.[a] Sementara itu, penulis di luar sayap kiri melindungi Hamka.[13][16] Beberapa kritikus menemukakan beberapa kesamaan antara dua buku tersebut, baik dari segi alur maupun teknik penceritaan.[17]
Ahli dokumentasi sastra H.B. Jassin, yang membandingkan kedua karya itu dengan menggunakan terjemahan Sous les Tilleuls berbahasa Indonesia yang diberi judul Magdalena, menulis bahwa novel ini tidaklah mungkin hasil plagiasi, sebab cara Hamka mendeskripsikan tempat itu sangat mendalam dan sesuai dengan gaya bahasanya dalam tulisan sebelumnya.[18] Jassin juga menegaskan bahwa novel Van der Wijck membahas masalah adat Minang, yang tidak mungkin ditemukan dalam suatu karya sastra luar.[7] Akan tetapi, Bakri Siregar beranggapan bahwa terdapat banyak kesamaan antara Zainuddin dan Steve, serta Hayati dan Magdalena, yang menandai adanya plagiasi.[3] Kritikus sastra asal Belanda, A. Teeuw menyatakan bahwa tanpa berpendapat kalau kesamaan yang terkandung dalam novel itu dilakukan secara sadar, memang terdapat banyak hal yang mirip di antara kedua karya itu, tetapi Van der Wijck sesungguhnya mempunyai tema yang murni dari Indonesia.[14]

Keterangan

  1. ^ Lekra banyak menentang agama. Oleh sebab itu, Hamka, yang merupakan ulama, dianggap sebagai salah satu target penting.[13]

Rujukan

Catatan kaki
  1. ^ Siregar 1964, hlm. 60.
  2. ^ Teeuw 1980, hlm. 104.
  3. ^ Siregar 1964, hlm. 61.
  4. ^ Jassin 1985, hlm. 46.
  5. ^ Jassin 1985, hlm. 47.
  6. ^ Tempo 2008, Hamka Menggebrak Tradisi.
  7. ^ Jassin 1985, hlm. 63.
  8. ^ Mahayana 2007, hlm. 169.
  9. ^ Jassin 1985, hlm. 64.
  10. ^ Mahayana 2007, hlm. 168.
  11. ^ Siregar 1964, hlm. 123.
  12. ^ Mahayana 2007, hlm. 170.
  13. ^ Mahayana, Sofyan & Dian 1995, hlm. 78–79.
  14. ^ Teeuw 1980, hlm. 105.
  15. ^ Kompas 2012, Palagan Hamka.
  16. ^ Jassin 1985, hlm. 59.
  17. ^ Jassin 1985, hlm. 65-66.
  18. ^ Jassin 1985, hlm. 61.
Daftar pustaka